Ø Pengertian Hadis
Maudhu’
Hadits maudhu adalah hadits yang
paling rendah kedudukannya. Secara bahasa, kata
maudhu’ merupakan isim maf’ul dari وضع yaitu موضوع yang
mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq
(mengada-ada atau membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal).
Secara etimologi : maudhu berasal dari kata وضع yang mempunyai
beberapa makna diantaranya
1. الحط ( merendahkan )
2. الإسقاط ( menjatuhkan )
3. الإختلا ق ( mengada-ngadakan )
4. الالصاق ( menyandarkan / menempelkan )
Makna bahasa ini terdapat pula dalam hadits maudhu karena
1) Rendah dalam kedudukannya.
2)
Jatuh (tidak bisa diambil dasar hukum)
3) Diada-adakan oleh perawinya.
4) Disandarkan pada Muhammad
shallallohu alaihi wa sallam sedang beliau tidak mengatakannya.
Sedang dalam istilah ilmu hadits:
hadits maudhu adalah hadits yang diada-adakan dan dipalsukan atas nama
Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam secara sengaja atau kesalahan sebagian
ulama mengkhususkan hadits maudhu. pada dusta yang disengaja saja. Rumusan
pengertian secara istilah hadits maudhu’ adalah sebagai berikut:
الموضوع المختلق المصنوع
المنسوب الى رسول الله صلعم زورا وبهتانا سواء كان ذالك عمدا او خطاء
Artinya: “Hadits
yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secar dibuat-buat dan dusta, padahal
beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapkannya.
Jadi hadits maudhu’ adalah bukan hadits yang bersumber
dari Rasulullah atau dengan kata lain bukan hadits Rasul, tetapi perkataan atau
perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan yang kemudian
dinisbatkan kepada Rasul.
Pada mulanya para ulama’ berbeda pendapat tentang benar
tidaknya terjadi pemalsuan hadits jika dilihat dari periwayatannya. Dalam hal
ini ada tiga pendapat di kalangan para Muhadditsin.
1)
Pendapat pertama, dianut oleh Ahmad Amin
dan Hasyim Ma’ruf Asy-Syi’I yang menyatakan bahwa pemalsuan hadits dan
munculnya riwayat hadits maudhu’ mulai terjadi pada periode Nabi Muhammad SAW,
didasarkan pada hadits Nabi yang mengecam keras terhadap setiap orang yang
berusaha melakukan pendustaan diri Nabi, berupa berita atau pembuatan hadits.
Sebagaiman sabda Nabi:
من كذب علي متعمدا فليتبواء مقعده من
النار
Artinya:
“Barangsiapa berdusta
terhadap diriku secara sengaja, dia pasti akann disediakan tempat kembalinya di
neraka”.
2) Pendapat kedua, dingkapkan oleh Akram Al-Umari yang menyatakan bahwa gerakan
pemalsuan hadits mulai terjadi sejak paruh kedua kekhalifahan Utsman Ibn Affan.
Pada masa itu timbul
pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh
beberapa riwayat palsu yang beredar dan berawsal dari kalangan sahabat, salah
satunya riwayat Ibn Addis dari Rasulullah SAW: (sandal Utsman lebih sesat
daripada Ubaidah). Dengan riwayat tersebut bisa diduga bahwa Ibn Addis adalah
orang yang pertama melakukan pemalsuan hadits.
3) Pendapat ketiga,
dikemukakan oleh Abu Syuhbah dan Abu Zahu, yang mengambil dasar pendapatnya
dari masa terjadinya penyusupan musuh-musuh Islam ketika terjadinya masa
al-fitnah (kekacauan) pada masa kepemimpinan Utsman.
Ø Sejarah Hadis Maudhu’.
Hadits maudhu’ atau hadits palsu muncul dan merebak ketika Islam diguncang
ketegangan setelah Khalifah Utsman bin Affan dibunuh pada 35 H. sosok Abdullah
bin Saba’, seorang Yahudi yang memeluk Islam disebut-sebut sebagai biang kerok
dari ketegangan di kalangan pemimpin dan umat Islam pada saat itu. Abdullah bin Saba dan komplotannya menebar
fitnah di berbagai kota Islam. Mereka menggulingkan sejumlah gubernur yang
ditempatkan khalifah. Namun, mereka gagal menggulingkan Muawiyah dari kursi
Gubernur Syam karena posisinya begitu kuat. Suhu politik di dunia Islam semakin
memanas ketika Khalifah Utsman bin Affan dibunuh. Menurut sebuah versi,
Abdullah bin Saba’ terlibat dalam penbunuhan Khalifah Utsman bin Affan. Ketika
Khalifah Ali bin Abi Thalib berkuasa, Abdullah bin Saba’ dan antek-anteknya
yang berpura-pura mendukung Ali bin Abi Thalib mendesak agar Umayyah dicopot
dari jabatannya sebagai gubernur. Ketegangan semakin meningkat ketika Muawiyyah
mendesak Khalifah Ali untuk segera menghukum pelaku pambunuhan Khalifah Utsman.
Diceritakan pula bahwa Abdullah bin Saba’ menyebarkan sebuah hadits yang
menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib-lah yang lebih layak menjadi khalifah
disbanding Utsmanbin Affan, Abu Bakar Shiddiq, ataupun Umar bin Khattab.
Kelompok tersebut berpendapat bahwa Ali telah mendapat wasiat dari Nabi saw.
Hadits palsu yang digaungkan oleh kelompok Abdullah bin Saba’ itu berbunyi,
“Setiap Nabi itu ada penerima wasiatnya, dan penerima wasiatku adalah Ali.”
Pada masa itu, hadits palsu belum terlalu marak. Sebab masih banyak sahabat
Rasulullah yang masih hidup. Mereka memahami secara pasti benar palsunya atau
tidak sebuah hadits. Khalifah Utsman pun pernah mengusir Abdullah bin Saba’
dari Madinah karena telah membuat hadits palsu. Hadits palsu merebak ketika di dunia
Islam muncul kelompok-kelompok yang menuntut balas kematian Utsman, kelompok
yang mendukung Ali, dan kelompok diluar keduanya. Setiap kelompok berlomba
untuk eksis dan menunjukan kelebihannya dengan membuat hadits-hadits palsu.
Kondisi itu sempat membuat Khalifah Ali bin Abi Thalib prihatin. Imam
Adz-dzahabi meriwayatkan dari Khuzaimah bin Nasr, “Aku mendengar Ali berkata di
Siffin: ‘Semoga Allah melaknat mereka (yaitu golongan putih yang telah
menghitamkan) karena telah merusak hadits-hadits Rasulullah’.”
Konflik politik di kalangan umat Islam yang semakin hebat telah membuka peluang
bagi golongan tertentu yang mencoba mendekatkan diri dengan pemerintah dengan
cara membuat hadits. Dalam buku Al-israiliyyat
wal Maudhuat fi Kutubit Tafsir, diungkapkan bahwa pada zaman Khalifah
Abbasiyyah, hadits-hadits palsu dibuat demi mengambil hati para khalifah.
Penyebaran hadits-hadits palsu pada zaman itu masih sedikit disbanding
zaman-zaman berikutnya. Sebab pada masa itu masih banyak para tabi’in yang
menjaga hadits-hadits Nabi saw. Berikut beberapa motif dibalik munculnya
hadits-hadits palsu di dunia Islam.
- Motif
politik dan kepemimpinan.
Salah satu hadits palsu yang muncul
dengan latar belakang politik antara lain, “Apabila melihat Muawiyyah diatas
mimbarku, maka bunuhlah.”
Perpecahan
umat Islam yang terjadi pada masa kekhalifahan ali bin Abi Thalib besar sekali
pengaruhnya terhadap kemunculan hadits-hadits palsu. Masing-masing kelompok
berusaha mencari dalilnya ke dalam Alqur’an dan sunnah untuk mengunggulkan
kelompoknya. Menurut Ibn Abi Al-Haddad dalam Syarah Nahj Al-Balaghah, bahwa pihak
yang pertama membuat hadits adalah dari golongan Syi’ah, dan ahlu Al-Sunnah
menandinginya dengan hadits lain yang juga maudhu’. Sedangkan golongan Khawarij
menurut data sejarah tidak pernah membuat hadits palsu.
- Motif
untuk mengotori agama Islam (zindiq).
Salah satu contoh haditsnya, antara lain, “Melihat muka yang cantik adalah
ibadah.” Usaha Kaum
Zindik diantaranya adalah Kaum Zindik termasuk kaum yang membenci Islam. Mereka tidak mungkin
melakukan konfrontasi dan pemalsuan terhadap Alqur’an, maka cara yang digunakan
adalah melalui pemalsuan hadits, dengan tujuan menghancurkan agama dari dalam.
Abdul Karim Ibn ‘Auja’ yang dihukum oleh Muhammad bin
Sulaiman bin Ali, mengaku telah memalsukan hadits sebanyak 4.000 hadits. Contoh hadits golongan Zindik antara
lain: “Melihat wajah cantik termasuk ibadah”.
C. Motif Fanatisme.
Contoh
haditsnya, “Sesungguhnya apabila Allah marah, maka menurunkanwahyu dalam bahasa
Arab. Dan apabila tidak marah, menurunkannya dalam bahasa Parsi.”
Fanatik terhadap Suku, Bahasa, Bangsa, Negeri dan Pimpinan. Mereka membuat
hadits palsu karena didorong oleh sikap ego dan fanatik serta ingin menonjolkan
seseorang, bangsa, kelompok atau yang
lain.
- Motif
Faham-Faham Fiqih dan Ilmu Kalam
Contoh haditsnya, “Barangsiapa
mengangkat kedua tangannya di dalam shalat, maka tidak sah shalatnya.” Atau
hadits yang berbunyi, “Jibril mengimamiku di depan Ka’bah, dan mengeraskan
bacaan bismillah.”
Perselisihan Madzhab dan Ilmu Kalam
Munculnya
hadits-hadits palsu dalam masalah fiqh dan ilmu kalam ini berasal dari para
pengikut madzhab. Mereka berani melakukan pemalsuan hadits karena didorong
sifat fanatik dan ingin menguatkan madzhabnya masing-masing. Diantara hadits palsu tentang
masalah ini adalah:
1.
Siapa yang mengangkat kedua
tangannya dalam shalatnya tidak sah
2.
Jibril menjadi Imamku dalam shalat
Ka’bah, Ia (Jibril) membaca basmalah dengan nyaring.
3.
Yang junub
wajib berkumur dan menghisap air tiga kali.
4.
Membangkitkan Gairah Beribadat,
tanpa Mengerti Apa yang Dilakukan.
Banyak ulama’ yang membuat hadits
palsu dan mengira usahanya itu benar dan merupakan upaya pendekatan diri kepada
Allah, serta menjunjung tinggi agama-Nya. Nuh bin Abi Maryam telah membuat
hadits berkenaan dengan fadhillah membaca surat-surat tertentu dalam Alqur’an.
- Motif
senang kepada kebaikan tetapi bodoh tentang agama.
Salah satu haditsnya, “Barangsiapa menafkahkan setali untuk maulud-ku, maka aku akan menjadi
penolongnya di hari akhir.” Mempengaruhi Kaum Awam dengan Kisah dan Nasihat. Pemalsuan
hadits dilakukan untuk memperoleh simpatik dari pendengarnya dan agar mereka
kagum melihat kemampuannya. Hadits yang mereka katakana terlalu
berlebih-lebihan dan tidak masuk akal. Contohnya:
“Barangsiapa yang mengucapkan kalimat
Allah akan menciptakan seekor burung (sebagai balasan dari tiap-tiap kalimat)
yang paruhnya terdiri dari emas dan bulunya dari marjan”.
- Motif Menjilat Pemimpin.
Salah satu contohnya, Ghiyas bin Ibrahim
an-Nakha’I al-Kufi pernah masuk ke istana Al-Mahdi, seorang penguasa Abbasiyyah
yang senang sekali kepada burung merpati. Salah seorang berkata kepadanya,
“Coba terangkan kepada Amirul Mukminin tentang sesuatu hadits.”
Sebagian orang yang imannya lemah
berupaya mendekati sebagian penguasa dengan membuat hadits yang menisbatkan
kepada penguasa agar mendapat perhatian. Seperti kisah Giyats bin Ibrahim
an-Nakha’i al-Kufi dengan Amir Mukminin Al- Mahdi, ketika masuk ke
ruangan Amirul Mukminin dan menjumpai al-Mahdi tengah bermain-main dengan
burung merpati. Maka ia menambahkan perkataan dalam hadits yang disandarkan
kepada Nabi s.a.w., bahwa beliau bersabda :
لا
سبق إلاّ في نصل أو خفّ أو حافر أو جناح
(“Tidak ada perlombaan kecuali bermain pedang, pacuan, menggali
atau sayap.”)
Ia menambahkan kata sayap (junâh),
yang dilakukan untuk menyenangkan al-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya
sepuluh dirham. Setelah berpaling, Sang Amir berkata: ”Aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama
Rasulullah s.a.w..” Kemudian al-Mahdi memerintahkan
untuk menyembelih burung merpati itu.
Beberapa motif pembuatan hadis Palsu
diatas dapat dikelompokkan menkarena mjadi :
Ø Ada yang sengaja
Ø Ada yang tidak sengaja merusak agama
Ø Ada yang karena merasa yakin bahwa membuat
hadis palsu diperbolehkan
Tujuan mereka mebuat hadis palsu ada
yang negatif ada pula yang positif. Apapun alasannyan perlu ditegaskan bahwa
membuathadis palsu merupakan perbuatan tercela dan menyesatkan.
G.
Dalam Rangka Mencari Penghidupan dan
Rezeki
Seperti yang dilakukan sebagian
tukang dongeng yang mencari penghidupan melalui berbagai cerita kepada
masyarakat. Mereka menambah-nambahkan ceritanya agar masyarakat mau mendengar
dongengannya, lalu mereka memberi upah. Diantara mereka adalah Abu Sa’id
al-Madani.
Ada pula hadits
Nabi yang bertentangan dengan ayat Alquran. Contohnya, tentang seseorang yang
meninggal duniaakan disiksa bila si mayit ditangisi oleh ahli warisnya (Kitab Jenazah, bab ke-32, hadits
ke-648). Hadits itu bertentangan dengan ayat Alquran, bahwa seseorang itu tidak
akan memikul dosa orang lain. Pemalsuan hadits tidak hanya dilakukan oleh
orang-orang Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non Islam. Hal ini didorong oleh beberapa
motif, antara lain:
Ø Status Hadits Maudhu’
Para ulama’
berbeda pendapat dalam menentukan status hadits maudhu’. Alasan yang
dikemukakan berkaitan erat dengan definisi dari hadits maudhu’ sebagai hadits
yang mengandung unsure yang dibuat-buat, dusta, dengan cara sengaja atau tidak
sengaja. Dalam hal ini ada dua pandangan, pertama, diwakili oleh Ibn Shalah dan
diikuti Jumhur Muhadditsin, berpendapat bahwa hadits maudhu’ merupakan bagian
dari hadits dhaif, tetapi tingkatan kedhaifannya berada pada tingkat yang
paling rendah, paling parah, serta paling rusak nilainya. Kelompok kedua,
diwakili oleh Ibn Hajar Al-Asqalani, berbeda pendapat bahwa hadits maudhu’
bukan termasuk hadits dhaif, bahkan bukan bagian dari hadits atau bukan hadits.
Sebaliknya para ulama’ lainnya tetap berpendirian bahwa hadits maudhu’
merupakan bagian dari hadits dhaif. Hal ini berdasarkan pada realitas empirik
bahwa kebanyakan para muhadditsin memasukkan hadits maudhu’ dalam kitab hadits
mereka.
Menurut Al-Hakim (seorang ulama’ hadits akhir
abad ke-4 yang mampu menembus kevakuman “ijtihad” pada masanya) berpendapat
bahwa hadits ia tidak pernah membenarkan hadits maudhu’ sebagai hadits. Ia juga
tidak pernah membenarkan bahwa hadits lemah bisa dijadikan sebagai landasan
aqidah dan muamalah. Secara metodologis, al-Hakim sudah mengantisipasi sejak
semula bahwa ada bagian-again tertentu yang diperbolehkan tasahul.
Ø Metode Periwayatan Hadits Maudhu’
Ada dua metode dalam proses
pembentukan atau pembuatan hadits maudhu’ yang dilakukan oleh pembuatnya.
1. Dibentuk dari ucapan rawi pembuatnya
sendiri kemudian disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, disertai dengan klaim
bahwa ucapannya itu adalah ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi.
2. Dibentuk dengan cara mengambil salah
satu ungkapan yang berasal dari sahabat, tabi’in, para hakim, atau lainnya,
kemudian disandarkan pada Nabi SAW, dibuatkan sanadnya sampai nampak seperti
berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sehingga menjadi musnad yang marfu’.
Ø
Kaidah-kaidah Mengetahui Hadits
Maudhu’
Tidak mudah orang dapat
membeda-bedakan hadits-hadits yang dipalsukan orang. Hanya oleh ahli hadits
yang luas pengetahuannya tentang Ilmu Hadits cukup muthala’ahnya, tajam
otaknya, kuat pahamnya serta mempunyai malakah yang kuat. Ada beberapa patokan
yang bisa dijadikan alat untuk mengidentifikasi bahwa hadits itu palsu atau
shahih, di antaranya
a) Dalam Sanad
1. Atas dasar pengakuan para pembuat
hadits palsu, sebagaimana pengakuan Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi Maryam yang telah
membuat hadits tentang fadhilah membaca Alqur’an.
2. Adanya qarinah (dalil) yang
menunjukkan kebohongannya, seperti menurut pengakuannya ia meriwayatkan dari
seorang Syeikh, tapi ternyata ia belum pernah bertemu secara langsung.
3. Meriwayatkan hadits sendirian,
sementara diri rawi dikenal sebagai pembohong. Ssementara itu tidak ditemukan
dalam riwayat lain. Maka hal ini ditetapkan sebagai hadits maudhu’.
b) Dalam Matan
1. Buruknya redaksi hadits. Dari
redaksi yang jelek akan berpengaruh kepada makna ataupun maksud dari hadits
Nabi SAW, kecuali bila si perawi menjelaskan bahwa hadits itu benar-benar
datang dari Nabi.
2. Maknanya rusak, Ibnu Hajar
menerangkan bahwa kejelasan lafadz ini dititikberatkan pada kerusakan arti.
3. Matannya
bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan Alqur’an atau
hadits yang lebih kuat, atau ijma’.
4. Matannya
menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang
sangat besar atas perkara kecil.
5. Hadits yang
bertentangan dengan kenyataan sejarah yang benar-benar terjadi di masa
Rasulullah SAW, dan jelas tampak kebohongannya.
6. hadits yang terlalu melebih-lebihkan
salah satu sahabat
Para ulama’ hadits menyusun berbagai
kaidah penelitian hadits untuk menyelamatkan hadits Nabi SAW di tengah-tengah
gencarnya pembuatan hadits palsu. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebnagai
berikut:
a.
Meneliti system sandaran hadits.
b.
Memilih perawi-perawi hadits yang terpercaya.
c.
Studi kritik rawi, yang lebih
dikonsentrasikan pada sifat kejujuran atau kebohongannya.
d.
Menyusun kaidah-kaidah umum untuk
memilih hadits-hadits,yaitu dengan mengetahui batasan-batasan hadits shahih,
hasan dan dhaif.
Mulai saat itu
perkembangan ilmu hadits melaju bagitu cepat demi menyelamatkan hadits-hadits
Rasul ini. Pada akhirnya, tujuan penyusunan kaidah-kaidah tersebut untuk
mengetahui keadaan matan hadits. Bersamaan dengan itu muncullah berbagai macam
Ilmu hadits, khususnya yang berkaitan dengan penelitian sanad hadits, antara
lain ialah Ilmu Rijal Al-Hadits dan Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil.
Dengan berbagai
kaidah dan ilmu hadits itu, ulama’ telah berhasil menghimpun berbagai hadits
palsu dalam kitab-kitab khusus, seperti Al-Maudhu’ Al-Kubra, karangan Abu
Al-Fari ‘Abd Al-Rahman bin Al-Jauzi (508-597 H) dalam 4 jilid, dsb.
Ø
Hukum meriwayatkan dan menyebarkan Hadis Maudhu’.
Hadits maudhu’ berasal dari dua suku kata bahasa Arab
yaitu al-Hadits dan al-Maudhu’. Al-Hadith dari segi bahasa mempunyai beberapa
pengertian seperti baru (al-jadid) dan cerita (al-khabar).
Kata al-Maudhu’, dari sudut bahasa berasal dari kata wadha’a –yadha’u – wadh’an
wa maudhu’an – yang memiliki beberapa arti antara lain telah menggugurkan,
menghinakan, mengurangkan, melahirkan, merendahkan, membuat, menanggalkan,
menurunkan dan lain-lainnya. Arti yang paling tepat disandarkan pada kata
al-Maudhu' supaya menghasilkan makna yang dikehendaki yaitu telah
membuat. Oleh karena itu maudhu’ (di atas timbangan isim maf’ul – benda yang
dikenai perbuatan) mempunyai arti yang dibuat.
Berdasarkan pengertian al-Hadits dan al-Maudhu’ ini,
dapat disimpulkan bahwa definisi Hadits maudhu’ adalah sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW baik perbuatan, perkataan, taqrir, dan sifat
beliau secara dusta. Lebih tepat lagi ulama hadits mendefinisikannya sebagai
apa-apa yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan,
perbuatan atau taqrir, tetapi disandarkan kepada beliau secara sengaja. Hadits maudhu’ ini yang paling buruk dan
jelek diantara hadits-hadits dhaif lainnya. Ia menjadi bagian tersendiri diantara
pembagian hadits oleh para ulama yang terdiri dari: shahih, hasan, dhaif dan
maudhu’. Maka maudhu’ menjadi satu bagian tersendiri.
Menamakan
hadits maudhu (yang dinegara kita dikenal hadits palsu) dengan sebutan hadits
tidak menjadi masalah, dengan sebuah catatan. Diantaranya, ketika menyampaikan
hadits tersebut harus diumumkan bahwa ia adalah hadits palsu. Oleh sebab
itu, berdasar istilah yang benar, hadits maudhu’ tidak boleh dikategorikan
sebagai hadits walaupun disandarkan kepada hadits dhaif.
Umat
Islam telah sepakat (ijmak) bahwa hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’
dengan sengaja adalah haram. Ini terkait dengan perkara-perkara hukum-hukum
syarak, cerita-cerita, targhib dan tarhib dan sebagainya. Yang menyelisihi
ijmak ini adalah sekumpulan ahli bid’ah, di mana mereka
mengharuskan membuat hadits-hadits untuk menggalakkan kebaikan (targhib),
menakut-nakuti kepada kejahatan (tarhib) dan mendorong kepada kezuhudan. Mereka
berpendapat bahwa targhib dan tarhib tidak masuk dalam kategori hukum-hukum
syarak.
Pendapat
ini jelas salah karena, Rasulullah dengan tegas memberi peringatan kepada
orang-orang yang berbohong atas nama beliau seperti sabdanya “Sesungguhnya
pembohongan atas namaku tidak seperti pembohongan atas siapapun. Siapa yang berbohong
atas namaku, maka dia dengan sengaja menyiapkan tempatnya di dalam neraka”,
“Janganlah kamu berbohong atas namaku, karena sesungguhnya orang yang berbohong
atasku akan masuk neraka”. Para ulama Ahlu Sunnah wal
Jamaah, sepakat mengharamkan berbohong dalam perkara-perkara yang
berkaitan dengan hukum dan perkara-perkara yang berkaitan dengan targhib dan
tarhib. Semuanya termasuk dalam salah satu dari dosa-dosa besar. Para ulama
telah berijmak bahwa haram berbohong atas nama seseorang, apalagi berbohong
atas seorang yang diturunkan wahyu kepadanya.
Terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ahlu Sunnah wal Jamaah berkenaan dengan
kedudukan orang yang membuat hadits tersebut, apakah dia menjadi kafir dengan
perbuatannya itu dan adakah periwayatannya diterima kembali sekiranya dia
bertaubat. Jumhur Ahlu Sunnah berpendapat bahwa orang yang membuat
hadits-hadits maudhu’ tidak menjadi kafir dengan pembohongannya itu, kecuali ia
menganggap perbuatannya itu halal.
Tetapi
menurut Abu Muhammad al-Juwaini, ayah Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali (W.478H),
salah seorang mazhab Syafi’i, orang tersebut menjadi kafir dengan melakukan
pembohongan tersebut secara sengaja dan boleh dijatuhi hukuman mati. Pendapat
ini dianggap lemah oleh Imam al-Haramain sendiri.
Seseorang yang berdusta atas Nabi walaupun hanya satu hadits saja, ia telah
menjadi fasik dan riwayat-riwayatnya yang lainnya juga ditolak dan tidak boleh
dijadikan hujah. Namun jika ia bertaubat dan taubatnya sungguh-sungguh,
sebagian ulama seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Humaidi (W.219H) (guru
Imam Bukhari dan sahabat Imam Syafie), Abu Bakar al-Sairafi (W.330H) (salah
seorang fuqaha` mazhab Syafie), ashabul wujuh dalam mazhab Syafie dan fuqaha’
mutaqaddimin dalam usul dan furu’ mengatakan bahwa taubatnya tidak memberi
pengaruh dan riwayatnya tidak boleh diterima selama. Bahkan kesalahannya
itu dijadikan catatan atasnya untuk setrusnya.
Namun
menurut Imam Nawawi (W.677H) pendapat golongan ulama ini lemah karena
berlawanan dengan kaidah syarak. Menurutnya, sah taubatnya secara pasti dan
riwayatnya boleh diterima setelah dia bertaubat sesuai dengan syarat-syarat
taubat yang benar. Pendapat Imam Nawawi ini berdasar pada ijmak ulama yang
mengatakan bahwa sah riwayat orang-orang yang kafir setelah memeluk Islam dan
kebanyakan sahabat dulunya juga kafir, kemudian mereka memeluk Islam dan
persaksian mereka diterima dan tidak ada perbedaan di antara persaksian
dan periwayatan.
Namun
yang pasti para ulama berijmak bahwa haram membuat hadits-hadits maudhu’, yang
berarti juga haram meriwayatkan atau menyebarkan hadits-hadits maudhu’ padahal
ia mengetahui dengan yakin atau zann kedudukan hadits tersebut adalah maudhu’.
Barangsiapa yang tetap meriwayatkan dan menyebarkan hadits-hadits maudhu’ dalam
keadaan mengetahui dengan yakin atau zann kedudukan hadits tersebut dan tidak
menerangkan kedudukannya, ia termasuk pendusta atas nama Rasulullah. Ini
dijelaskan dalam sebuah hadits sahih yang berbunyi: “Barangsiapa yang
menceritakan satu hadits dariku dan dia mengira bahwa hadits itu adalah dusta,
maka dia termasuk di dalam salah seorang pendusta”. Oleh sebab itu, ulama
mengatakan sudah seharsunya bagi seseorang yang hendak meriwayatkan sesuatu
hadits agar memastikan kedudukan hadits tersebut.
Tapi
jika meriwayatkan hadits-hadits maudhu’ dan menyebutkan kedudukan hadits
tersebut sebagai maudhu’, tidak ada masalah. Sebab dengan menerangkan
kedudukan hadits tersebut membuat orang bisa bisa membedakan antara hadits yang
sahih dengan yang maudhu’ dan sekaligus dapat menjaga Sunnah dari perkara-perkara
yang tidak benar. Dari keterangan di atas bisa kita
ambil kesimpulan bahwa hadits maudhu’ merupakan sebuah ancaman besar bagi umat
Islam. Hukuman para ulama yang ditujukan kepada pembuat hadits dan penyebarnya,
cukup memberi gambaran kepada kita bahwa hal itu merupakan suatu perkara yang
harus mendapat perhatian serius.
Untuk
menghindari terjerumusnya pada perkara yang tidak ringan itu, kaum muslimin
hendaknya serius mendeteksi hadits-hadits palsu. Sebab hadits tersebut terus
sudah banyak beredar di kalangan umat Islam khususnya di tanah air. Jika
tidak, akan banyak umat Islam yang terpedaya oleh janji-janji kosong yang
disebarkan oleh golongan yang tidak bertanggungjawab.
Ø
Contoh
Hadis Maudhu’
Hadits Maudhu yang tersebar
dikalangan umat Islam sangat banyak sekali. Hadits-hadits tersebut juga
mengenai pembahasan-pembahasan yang berbeda. Orang-orang zindiq saja mereka
sangat banyak memalsukan hadits. Diriwayatkan dari Hammad bin Zaid bahwa beliau
berkata : “Orang-orang zindiq memalsukan hadits atas nama Rasulullah sebanyak
14.000 hadits”
Berikut adalah enam contoh
hadits maudhu yang diambil dari penjelasan Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah
rahimahullah :
1. Hadits :
من صام صبيحة
يوم الفطر فكأنما صام الدهر كله
“Barangsiapa berpuasa di waktu pagi pada hari ‘Idul Fithri, dia
bagaikan puasa sepanjang waktu”
Ini adalah hadits palsu yang dibuat oleh Ibnu
al-Bailami. Ibnu Hibban rahimahullah berkata : “Dia meriwayatkan hadits dari
ayahnya sebanyak kurang lebih 200 hadits, semuanya palsu dan tidak boleh
berhujjah dengan dia dan juga tidak boleh disebut namanya kecuali hanya untuk
menjelaskan keheranan terhadapnya ”
2. Hadits yang
disandarkan kepada Rasulullah :
رجب شهر الله
وشعبان شهري و رمضان شهر أمتي
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan bulan
umatku”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Jahdzom, dia adalah seorang
pemalsu hadits.
3. Hadits :
من صام يوما من رجب و صلى أربع ركعات يقرأ في أول ركعة مائة مرة
(أية الكرسي) وفي الثانية مائة مرة (قل هو الله أحد) لم يمت حتى يرى مقعده من
الجنة
“Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab dan
melakukan sholat empat rakaat, pada rakaat pertama ia membaca ayat kursi 100
kali dan pada rakaat kedua dia membaca “Qul Huwallahu Ahad”, dia tidak akan
mati sebelum melihat tempatnya di surga”
Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnu al-Jauzi (2/132)
4. Hadits :
من صام يوم
عاشوراء كتب الله له عبادة ستين سنة
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari ‘Asyura, Allah akan menulis
baginya ibadah selama enampuluh tahun”
Hadits ini palsu diriwayatkan oleh Hubaib bin Abi Hubaib, dia
termasuk orang yang memalsukan hadits.
5. Hadits bahwa
Rasulullah :
أمر الأغنياء
باتخاذ الغنم و أمر الفقراء باتخاذ الدجاج
“Beliau
memerintahkan para orang kaya untuk memelihara kambing dan memerintahkan para
orang miskin untuk memelihara ayam”
Hadits ini palsu yang diriwayatkan oleh Ali bin Urwah
ad-Dimasyqi. Ibnu Hibban berkata tentangnya : “Dia pernah memalsukan hadits”
6. Hadits :
لكل شيء معدن
و ومعدن التقوى قلوب العاقلين
“Setiap sesuatu punya sumber dan sumbernya ketaqwaan adalah hatinya
orang-orang yang pintar berakal”
Ibnu al-Qoyyim juga menjelaskan bahwa hadits-hadits yang membahas
tentang akal semuanya adalah dusta.
(Abu Maryam Abdusshomad, dinukil dari kitab Al-Manar al-Munif fii
Asshohih wa Addho’if karya Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah)
KESIMPULAN
Hadits Maudhu’ adalah hadits yang
bukan bersumber dari Nabi atau dengan kata lain bukan hadits Rasul, tetapi
perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu
alasan yang kemudian dinisbatkan pada Rasul.
Apapun alasan membuat hadits palsu,
merupakan perbuatan tercela dan menyesatkan karena bertentangan dengan sabda
Rasulullah Saw.
Dengan berbagai kaiddah dan ilmu
hadits serta telah dibukukannya hadits mengakibatkan ruang gerak para pembuat
hadits palsu yang sangat sempit. Hadits-hadits yang berkembang di masyarakat
dan termaktub dalam kitab-kitab dapat diteliti dan diketahui kualitasnya.
Demikianlah makalah yang telah kami susun.
Kritik dan saran selalu kami harapkan agar dapat kami buat sebagai pijakan
dalam makalah-makalah selanjutnya. Semoga makalah inidapat dapat
bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Mudatsir.2008, Ilmu Hadis. Bandung
: Pustaka Setia
Hassan, Qadir.1982, Ilmu Mushtholah Hadis. Bandung : Diponegoro