waktu adalah pedang

Pages

This is default featured slide 1 title

Gagal itu awal dari kesuksesan.

This is default featured slide 3 title

Pendiri Setia Hati Terate.

This is default featured slide 5 title

Berjuanglah Hingga Akhir.

Saturday 16 February 2013

PERBUATAN YANG BAIK AKAN MELEGAKAN HATI



Aisyah r.a. mengisahkan: “suatu ketika seorang wanita miskin datang menemuiku dengan membawa kedua anak perempuannya. Wanita itu memberikan masing-masing kepada kedua putrinya satu butir kurma dan satu lagi hendak ia makan. Pada saat itulah kedua putrinya meminta kurma yang hendak ia makan, kemudian ia membelah kurma itu menjadi dua bagian dan dibagikan kepada kedua putrinya. Akupun tersentuh atas sikap bijaksana seorang perempuan itu. Aku bercerita kepada Rasulullah tentang kejadian tersebut. Rasulullah SAW bersabda “karena kurma itu Allah telah memastikan surga untuknya atau menyelamatkan untuknya dari api neraka”.
Ummu Salamah bertanya “apakah aku mendapat pahala karena dermaku terhadap putra dan putri Abu Salamah? Aku tidak meninggalkan mereka seperti ini atau seperti itu karena mereka anak-anakku juga”. Salamah menegaskan bahwa ia tidak akan meninggalkan anak-anaknya sebelum Rasulullah menjawab pertanyaannya. Namun naluri menjawabnya sebelum jawaban Rasulullah SAW.
Inilah islam menganjurkan perbuatan baik, kelemah lembutan pada sanak famili dan menanamkan kasih sayang dan rahmat ditengah masyarakat agar anak-anak tumbuh menjadi anak yang sholeh dan baik.
“jadilah wanita yang bahagia, disinilah kebahagiaan yang sejati itu”















JAUHILAH KELALAIAN!



KELALAIAN adalah menjauhkan diri dari mengingat Allah, meninggalkan sholat, enggan membaca al-Qur'an dan menghadiri majlis-majlis pengajian. Itu semua merupakan awal dari kelalaian. Kemudian membuat hati menjadi keras dan batu. Setelah itu hati tak tahu lagi kebaikan, tak lagi mengingkari kemungkaran dan tak lagi memahami agama sedikitpun.
Orang yang mempunyai hati seperti ini mudah sekali mengeluh, sedih, marah dan mudah tertantang. Ini merupakan akibat kelalaian didunia, bagaimana nanti di akhirat?
Oleh karena itu jauhkanlah dirimu dari sebab-sebab kelalaian. Basahi bibirmu dengan menyebut asma Allah dan berdzikir mengingatNya, serta memohonlah ampunan kepadaNya. Bacalah sholawat kepada Rasulullah SAW disetiap waktu, dikala duduk. Berdiri ataupun berbaring. Dengan begitu kau akan menemukan kebahagiaan meliputi hatimu. Ini adalah pengaruh dari dzikir. “ketahuilah dengan mengingat Allah hati menjadi tenang”

“jangan menunggu menjadi orang yang bahagia, jika hanya tersenyum, tersenyumlah agar engkau menjadi orang yang paling bahagia”

TERSENYUMLAH UNTUK HIDUP



Manakala kau tersenyum sedangkan hatimu dipenuhi dengan duka nestapa, maka sesungguhnya kau sedang meringankan satu beban dan membuka satu pintu kebahagiaan. Jangan pernah ragu-ragu untuk tersenyum karena didalam dirimu ada kekuatan besar yang tersimpan untuk tersenyum. Jangan menekan kekuatan itu, karena dengan kamu menekannya berarti engkau memaksa jiwamu untuk masuk kedalam botol penderitaan. Tersenyum tidak akan membahayakanmu. Bicaralah dengan orang disekitarmu dengan bahasa kalbu. Alangkah indahnya bibir kita jikalau kita berbicara dengan bahasa senyuman.
Seseorang mengatakan bahwa ”tersenyum adalah keharusan dalam bermasyarakat”. Karena ketika engkau bergaul dengan orang lain, maka engkau dituntut untuk berkomunikasi dengan baik, dan menyadari bahwa dalam hidup bermasyarakat membutuhkan ketrampilan-ketrampilan manusiawi, dan itu harus engkau kuasai. Salah satunya adalah ketrampilan tersenyum.
Ketika engkau tersenyum di hadapan orang lain, maka engkau sedang memberikan kepada mereka kehidupan yang indah, optimisme dan kabargembira yang mereka harapkan. Sebaliknya jika engkau bertemu seseorang dengan wajah yang angker, maka engkau telah menyiksa mereka dan menodai kehidupan mereka. Relakah engkau menjadi biang kesedihan orang lain?
“kemuliaan hanya akan diberikan bagi mereka yang sabar”













Friday 15 February 2013

Menghadirkan hati



Sebenarnya apa hati itu? kenapa sampai ada istilah kalau – kalau kata hati itu tidak bisa berbohong alasannya adalah karena hati dapat bimbingan langsung dari Allah, tapi apakah yang disebut dengan hati itu adalah organ yang ada di lambung kiri kita itu?apakah dia yang mendapat bimbingan dan memiliki rasa sayang, cinta, takut, sedih dan senang?di dalam kitab ihya’ulumiddin karya imam ghozali menyebutkan bahwa penting sekali menghadirkan hati disetiap laku kehidupan dimanapun dan dalam keadaan apapun kita, hadirnya hati bisa terjadi apabila hati itu kosong dari selain apa yang bercampur padanya dan bercakap-cakap dengannya. Maka ilmu tentang perbuatan dan perkataan itu menjadi disertakan dengan keduanya. Manakala pikiran berpaling dari selain dari sesuatu yang ia ada padanya dan di dalam hatinya ingat kepada sesuatu yang ia ada padanya serta ia tidak lalai dari segala sesuatunya maka tercapailah kehadiran hati. Tetapi pemahaman bagi makna kalam adalah urusan yang ada di balik hadirnya hati, barang kali hati itu hadir bersama lafal, namun tidak hadir bersama makna lafal. Maka mencakupnya hati terhadap ilmu dengan makna lafal itulah yang kami maksudkan dengan pemahaman.
Seperti contoh praktek menghadirkan hati adalah ketika duduk, berdiri, jalan, atau bercakap-cakap sekalipun tetapi hati tetap ingat dengan Allah, bukan bentuk atau rupa Allah yang kita bayangkan tapi lebih kepada rasa dekat dan selalu ingat dengan mengucapkan dalam hati lafad Allah, Sholawat, Saubhanallah, Alhamdulillah, Allahuakbar, Astaghfirulloh atau sejenisnya sehingga tindak tanduk kita dalam setiap laku kehidupan terarah dan menuju kepada ridlonya Allah semata, perilaku negative bin tercela pun akan terhindar.
Dalam praktek sehari-hari sangat sulit menerapkan hal itu bahkan wali Allah itu jika  ia sedetik saja tidak mengingat atau lupa kepada Allah maka dia menganggap dirinya telah berdosa. Hati itu ibarat gelombang radio yang dapat di stel frekuensinya, hal itu merupakan salah satu sebab kita tidak bisa bangun dimalam hari untuk melakukan sholat malam. Cara yang ditempuh adalah ketika mau tidur sebaiknya wudlu dahulu lalu tafakur sejenak sedikit mengingat segala sesuatu tentang apa saja yang sudah kita lakukan seharian tadi mencoba untuk mengoreksi dan memperbaiki sebagai pelajaran untuk esok hari. Setelah itu berdo’a agar diberi kemudahan bangun pada malam itu, kemudian membaca surat al-ikhlas tiga kali, al-falah dan an-nass disusul dengan sholawat secara terus menerus di dalam hati sampai diri terlelap dan tidur tetapi semua proses tadi tidak lepas dari hadirnya hati dan selalu mengingat Allah azza wajallah. insyaAllah jika melakukannya dengan sungguh-sungguh akan ada hasil yang memuaskan.
Sekian pengetahuan yang dapat kami share, jika ada kekurangannya kami mohon maaf karena memang hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.

Thursday 14 February 2013

Hadits Maudhu'




Ø  Pengertian Hadis Maudhu’
Hadits maudhu adalah hadits yang paling rendah kedudukannya. Secara bahasa, kata maudhu’ merupakan isim maf’ul dari  وضع  yaitu موضوع yang mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal).
Secara etimologi : maudhu berasal dari kata وضع yang mempunyai beberapa makna diantaranya
1. الحط ( merendahkan )
2. الإسقاط ( menjatuhkan )
3. الإختلا ق ( mengada-ngadakan )
4. الالصاق ( menyandarkan / menempelkan )

Makna bahasa ini terdapat pula dalam hadits maudhu karena
1)      Rendah dalam kedudukannya.
2)      Jatuh (tidak bisa diambil dasar hukum)
3)      Diada-adakan oleh perawinya.
4)      Disandarkan pada Muhammad shallallohu alaihi wa sallam sedang beliau tidak mengatakannya.

Sedang dalam istilah ilmu hadits: hadits maudhu adalah hadits yang diada-adakan dan dipalsukan atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam secara sengaja atau kesalahan sebagian ulama mengkhususkan hadits maudhu. pada dusta yang disengaja saja. Rumusan pengertian secara istilah hadits maudhu’ adalah sebagai berikut:
الموضوع المختلق المصنوع المنسوب الى رسول الله صلعم زورا وبهتانا سواء كان ذالك عمدا او خطاء
Artinya: “Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secar dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapkannya.
Jadi hadits maudhu’ adalah bukan hadits yang bersumber dari Rasulullah atau dengan kata lain bukan hadits Rasul, tetapi perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan yang kemudian dinisbatkan kepada Rasul.
Pada mulanya para ulama’ berbeda pendapat tentang benar tidaknya terjadi pemalsuan hadits jika dilihat dari periwayatannya. Dalam hal ini ada tiga pendapat di kalangan para Muhadditsin.
1)      Pendapat pertama, dianut oleh Ahmad Amin dan Hasyim Ma’ruf Asy-Syi’I yang menyatakan bahwa pemalsuan hadits dan munculnya riwayat hadits maudhu’ mulai terjadi pada periode Nabi Muhammad SAW, didasarkan pada hadits Nabi yang mengecam keras terhadap setiap orang yang berusaha melakukan pendustaan diri Nabi, berupa berita atau pembuatan hadits. Sebagaiman sabda Nabi:
من كذب علي متعمدا فليتبواء مقعده من النار
Artinya: 
“Barangsiapa berdusta terhadap diriku secara sengaja, dia pasti akann disediakan tempat kembalinya di neraka”.
2)      Pendapat kedua, dingkapkan oleh Akram Al-Umari yang menyatakan bahwa gerakan pemalsuan hadits mulai terjadi sejak paruh kedua kekhalifahan Utsman Ibn Affan. Pada masa itu timbul pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh beberapa riwayat palsu yang beredar dan berawsal dari kalangan sahabat, salah satunya riwayat Ibn Addis dari Rasulullah SAW: (sandal Utsman lebih sesat daripada Ubaidah). Dengan riwayat tersebut bisa diduga bahwa Ibn Addis adalah orang yang pertama melakukan pemalsuan hadits.
3)      Pendapat ketiga, dikemukakan oleh Abu Syuhbah dan Abu Zahu, yang mengambil dasar pendapatnya dari masa terjadinya penyusupan musuh-musuh Islam ketika terjadinya masa al-fitnah (kekacauan) pada masa kepemimpinan Utsman.
Ø  Sejarah Hadis Maudhu’.
Hadits maudhu’ atau hadits palsu muncul dan merebak ketika Islam diguncang ketegangan setelah Khalifah Utsman bin Affan dibunuh pada 35 H. sosok Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang memeluk Islam disebut-sebut sebagai biang kerok dari ketegangan di kalangan pemimpin dan umat Islam pada saat itu. Abdullah bin Saba dan komplotannya menebar fitnah di berbagai kota Islam. Mereka menggulingkan sejumlah gubernur yang ditempatkan khalifah. Namun, mereka gagal menggulingkan Muawiyah dari kursi Gubernur Syam karena posisinya begitu kuat. Suhu politik di dunia Islam semakin memanas ketika Khalifah Utsman bin Affan dibunuh. Menurut sebuah versi, Abdullah bin Saba’ terlibat dalam penbunuhan Khalifah Utsman bin Affan. Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib berkuasa, Abdullah bin Saba’ dan antek-anteknya yang berpura-pura mendukung Ali bin Abi Thalib mendesak agar Umayyah dicopot dari jabatannya sebagai gubernur. Ketegangan semakin meningkat ketika Muawiyyah mendesak Khalifah Ali untuk segera menghukum pelaku pambunuhan Khalifah Utsman.
Diceritakan pula bahwa Abdullah bin Saba’ menyebarkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib-lah yang lebih layak menjadi khalifah disbanding Utsmanbin Affan, Abu Bakar Shiddiq, ataupun Umar bin Khattab. Kelompok tersebut berpendapat bahwa Ali telah mendapat wasiat dari Nabi saw. Hadits palsu yang digaungkan oleh kelompok Abdullah bin Saba’ itu berbunyi, “Setiap Nabi itu ada penerima wasiatnya, dan penerima wasiatku adalah Ali.”
Pada masa itu, hadits palsu belum terlalu marak. Sebab masih banyak sahabat Rasulullah yang masih hidup. Mereka memahami secara pasti benar palsunya atau tidak sebuah hadits. Khalifah Utsman pun pernah mengusir Abdullah bin Saba’ dari Madinah karena telah membuat hadits palsu. Hadits palsu merebak ketika di dunia Islam muncul kelompok-kelompok yang menuntut balas kematian Utsman, kelompok yang mendukung Ali, dan kelompok diluar keduanya. Setiap kelompok berlomba untuk eksis dan menunjukan kelebihannya dengan membuat hadits-hadits palsu. Kondisi itu sempat membuat Khalifah Ali bin Abi Thalib prihatin. Imam Adz-dzahabi meriwayatkan dari Khuzaimah bin Nasr, “Aku mendengar Ali berkata di Siffin: ‘Semoga Allah melaknat mereka (yaitu golongan putih yang telah menghitamkan) karena telah merusak hadits-hadits Rasulullah’.”
Konflik politik di kalangan umat Islam yang semakin hebat telah membuka peluang bagi golongan tertentu yang mencoba mendekatkan diri dengan pemerintah dengan cara membuat hadits. Dalam buku Al-israiliyyat wal Maudhuat fi Kutubit Tafsir, diungkapkan bahwa pada zaman Khalifah Abbasiyyah, hadits-hadits palsu dibuat demi mengambil hati para khalifah. Penyebaran hadits-hadits palsu pada zaman itu masih sedikit disbanding zaman-zaman berikutnya. Sebab pada masa itu masih banyak para tabi’in yang menjaga hadits-hadits Nabi saw. Berikut beberapa motif dibalik munculnya hadits-hadits palsu di dunia Islam.
  1. Motif politik dan kepemimpinan.
 Salah satu hadits palsu yang muncul dengan latar belakang politik antara lain, “Apabila melihat Muawiyyah diatas mimbarku, maka bunuhlah.”
Perpecahan umat Islam yang terjadi pada masa kekhalifahan ali bin Abi Thalib besar sekali pengaruhnya terhadap kemunculan hadits-hadits palsu. Masing-masing kelompok berusaha mencari dalilnya ke dalam Alqur’an dan sunnah untuk mengunggulkan kelompoknya. Menurut Ibn Abi Al-Haddad dalam Syarah Nahj Al-Balaghah, bahwa pihak yang pertama membuat hadits adalah dari golongan Syi’ah, dan ahlu Al-Sunnah menandinginya dengan hadits lain yang juga maudhu’. Sedangkan golongan Khawarij menurut data sejarah tidak pernah membuat hadits palsu.

  1. Motif untuk mengotori agama Islam (zindiq).
Salah satu contoh haditsnya, antara lain, “Melihat muka yang cantik adalah ibadah.” Usaha Kaum Zindik diantaranya adalah Kaum Zindik termasuk kaum yang  membenci Islam. Mereka tidak mungkin melakukan konfrontasi dan pemalsuan terhadap Alqur’an, maka cara yang digunakan adalah melalui pemalsuan hadits, dengan tujuan menghancurkan agama dari dalam.
Abdul Karim Ibn ‘Auja’ yang dihukum oleh Muhammad bin Sulaiman bin Ali, mengaku telah memalsukan hadits sebanyak 4.000 hadits. Contoh hadits golongan Zindik antara lain: “Melihat wajah cantik termasuk ibadah”.

C.     Motif  Fanatisme.
Contoh haditsnya, “Sesungguhnya apabila Allah marah, maka menurunkanwahyu dalam bahasa Arab. Dan apabila tidak marah, menurunkannya dalam bahasa Parsi.”
Fanatik terhadap Suku, Bahasa, Bangsa, Negeri dan Pimpinan. Mereka membuat hadits palsu karena didorong oleh sikap ego dan fanatik serta ingin menonjolkan seseorang,  bangsa, kelompok atau yang lain.

  1. Motif Faham-Faham Fiqih dan Ilmu Kalam
 Contoh haditsnya, “Barangsiapa mengangkat kedua tangannya di dalam shalat, maka tidak sah shalatnya.” Atau hadits yang berbunyi, “Jibril mengimamiku di depan Ka’bah, dan mengeraskan bacaan bismillah.”
Perselisihan Madzhab dan Ilmu Kalam
Munculnya hadits-hadits palsu dalam masalah fiqh dan ilmu kalam ini berasal dari para pengikut madzhab. Mereka berani melakukan pemalsuan hadits karena didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan madzhabnya masing-masing. Diantara hadits palsu tentang masalah ini adalah:
1.      Siapa yang mengangkat kedua tangannya dalam shalatnya tidak sah
2.      Jibril menjadi Imamku dalam shalat Ka’bah, Ia (Jibril) membaca basmalah dengan nyaring.
3.      Yang junub wajib berkumur dan menghisap air tiga kali.
4.      Membangkitkan Gairah Beribadat, tanpa Mengerti Apa yang Dilakukan.
Banyak ulama’ yang membuat hadits palsu dan mengira usahanya itu benar dan merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah, serta menjunjung tinggi agama-Nya. Nuh bin Abi Maryam telah membuat hadits berkenaan dengan fadhillah membaca surat-surat tertentu dalam Alqur’an.
  1. Motif senang kepada kebaikan tetapi bodoh tentang agama.
Salah satu haditsnya, “Barangsiapa menafkahkan setali untuk maulud-ku, maka aku akan menjadi penolongnya di hari akhir.” Mempengaruhi Kaum Awam dengan Kisah dan Nasihat. Pemalsuan hadits dilakukan untuk memperoleh simpatik dari pendengarnya dan agar mereka kagum melihat kemampuannya. Hadits yang mereka katakana terlalu berlebih-lebihan dan tidak masuk akal. Contohnya:
“Barangsiapa yang mengucapkan kalimat Allah akan menciptakan seekor burung (sebagai balasan dari tiap-tiap kalimat) yang paruhnya terdiri dari emas dan bulunya dari marjan”.
  1. Motif  Menjilat Pemimpin.
 Salah satu contohnya, Ghiyas bin Ibrahim an-Nakha’I al-Kufi pernah masuk ke istana Al-Mahdi, seorang penguasa Abbasiyyah yang senang sekali kepada burung merpati. Salah seorang berkata kepadanya, “Coba terangkan kepada Amirul Mukminin tentang sesuatu hadits.”
Sebagian orang yang imannya lemah berupaya mendekati sebagian penguasa dengan membuat hadits yang menisbatkan kepada penguasa agar mendapat perhatian. Seperti kisah Giyats bin Ibrahim an-Nakha’i  al-Kufi dengan Amir Mukminin Al- Mahdi, ketika masuk ke ruangan  Amirul Mukminin dan menjumpai al-Mahdi tengah bermain-main dengan burung merpati. Maka ia menambahkan perkataan dalam hadits yang disandarkan kepada Nabi s.a.w., bahwa beliau bersabda :
لا سبق إلاّ في نصل أو خفّ أو حافر أو جناح
(“Tidak ada perlombaan kecuali bermain pedang, pacuan, menggali atau sayap.”)
Ia menambahkan kata sayap (junâh), yang dilakukan  untuk menyenangkan al-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh dirham. Setelah berpaling, Sang Amir berkata: ”Aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah s.a.w..” Kemudian  al-Mahdi memerintahkan untuk menyembelih burung merpati itu.
Beberapa motif pembuatan hadis Palsu diatas dapat dikelompokkan menkarena mjadi :
Ø     Ada yang sengaja
Ø      Ada yang tidak sengaja merusak agama
Ø      Ada yang karena merasa yakin bahwa membuat hadis palsu diperbolehkan
Tujuan mereka mebuat hadis palsu ada yang negatif ada pula yang positif. Apapun alasannyan perlu ditegaskan bahwa membuathadis palsu merupakan perbuatan tercela dan menyesatkan.
G.    Dalam Rangka Mencari Penghidupan dan Rezeki
Seperti yang dilakukan sebagian tukang dongeng yang mencari penghidupan melalui berbagai cerita  kepada masyarakat. Mereka menambah-nambahkan ceritanya agar masyarakat mau mendengar dongengannya, lalu mereka memberi upah. Diantara mereka adalah Abu Sa’id al-Madani.
Ada pula hadits Nabi yang bertentangan dengan ayat Alquran. Contohnya, tentang seseorang yang meninggal duniaakan disiksa bila si mayit ditangisi oleh ahli warisnya (Kitab Jenazah, bab ke-32, hadits ke-648). Hadits itu bertentangan dengan ayat Alquran, bahwa seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain. Pemalsuan hadits tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non Islam. Hal ini didorong oleh beberapa motif, antara lain:
Ø  Status Hadits Maudhu’
Para ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan status hadits maudhu’. Alasan yang dikemukakan berkaitan erat dengan definisi dari hadits maudhu’ sebagai hadits yang mengandung unsure yang dibuat-buat, dusta, dengan cara sengaja atau tidak sengaja. Dalam hal ini ada dua pandangan, pertama, diwakili oleh Ibn Shalah dan diikuti Jumhur Muhadditsin, berpendapat bahwa hadits maudhu’ merupakan bagian dari hadits dhaif, tetapi tingkatan kedhaifannya berada pada tingkat yang paling rendah, paling parah, serta paling rusak nilainya. Kelompok kedua, diwakili oleh Ibn Hajar Al-Asqalani, berbeda pendapat bahwa hadits maudhu’ bukan termasuk hadits dhaif, bahkan bukan bagian dari hadits atau bukan hadits. Sebaliknya para ulama’ lainnya tetap berpendirian bahwa hadits maudhu’ merupakan bagian dari hadits dhaif. Hal ini berdasarkan pada realitas empirik bahwa kebanyakan para muhadditsin memasukkan hadits maudhu’ dalam kitab hadits mereka.
 Menurut Al-Hakim (seorang ulama’ hadits akhir abad ke-4 yang mampu menembus kevakuman “ijtihad” pada masanya) berpendapat bahwa hadits ia tidak pernah membenarkan hadits maudhu’ sebagai hadits. Ia juga tidak pernah membenarkan bahwa hadits lemah bisa dijadikan sebagai landasan aqidah dan muamalah. Secara metodologis, al-Hakim sudah mengantisipasi sejak semula bahwa ada bagian-again tertentu yang diperbolehkan tasahul.
Ø  Metode Periwayatan Hadits Maudhu’
Ada dua metode dalam proses pembentukan atau pembuatan hadits maudhu’ yang dilakukan oleh pembuatnya.
1.      Dibentuk dari ucapan rawi pembuatnya sendiri kemudian disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, disertai dengan klaim bahwa ucapannya itu adalah ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi.
2.      Dibentuk dengan cara mengambil salah satu ungkapan yang berasal dari sahabat, tabi’in, para hakim, atau lainnya, kemudian disandarkan pada Nabi SAW, dibuatkan sanadnya sampai nampak seperti berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sehingga menjadi musnad yang marfu’.
Ø   Kaidah-kaidah Mengetahui Hadits Maudhu’
Tidak mudah orang dapat membeda-bedakan hadits-hadits yang dipalsukan orang. Hanya oleh ahli hadits yang luas pengetahuannya tentang Ilmu Hadits cukup muthala’ahnya, tajam otaknya, kuat pahamnya serta mempunyai malakah yang kuat. Ada beberapa patokan yang bisa dijadikan alat untuk mengidentifikasi bahwa hadits itu palsu atau shahih, di antaranya
a)      Dalam Sanad
1.      Atas dasar pengakuan para pembuat hadits palsu, sebagaimana pengakuan Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi Maryam yang telah membuat hadits tentang fadhilah membaca Alqur’an.
2.      Adanya qarinah (dalil) yang menunjukkan kebohongannya, seperti menurut pengakuannya ia meriwayatkan dari seorang Syeikh, tapi ternyata ia belum pernah bertemu secara langsung.
3.      Meriwayatkan hadits sendirian, sementara diri rawi dikenal sebagai pembohong. Ssementara itu tidak ditemukan dalam riwayat lain. Maka hal ini ditetapkan sebagai hadits maudhu’.
b)      Dalam Matan
1.      Buruknya redaksi hadits. Dari redaksi yang jelek akan berpengaruh kepada makna ataupun maksud dari hadits Nabi SAW, kecuali bila si perawi menjelaskan bahwa hadits itu benar-benar datang dari Nabi.
2.      Maknanya rusak, Ibnu Hajar menerangkan bahwa kejelasan lafadz ini dititikberatkan pada kerusakan arti.
3.      Matannya bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan Alqur’an atau hadits yang lebih kuat, atau ijma’.
4.      Matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang sangat besar atas perkara kecil.
5.      Hadits yang bertentangan dengan kenyataan sejarah yang benar-benar terjadi di masa Rasulullah SAW, dan jelas tampak kebohongannya.
6.      hadits yang terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat
Para ulama’ hadits menyusun berbagai kaidah penelitian hadits untuk menyelamatkan hadits Nabi SAW di tengah-tengah gencarnya pembuatan hadits palsu. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebnagai berikut:
a.         Meneliti system sandaran hadits.
b.        Memilih perawi-perawi hadits yang terpercaya.
c.         Studi kritik rawi, yang lebih dikonsentrasikan pada sifat kejujuran atau kebohongannya.
d.        Menyusun kaidah-kaidah umum untuk memilih hadits-hadits,yaitu dengan mengetahui batasan-batasan hadits shahih, hasan dan dhaif.
Mulai saat itu perkembangan ilmu hadits melaju bagitu cepat demi menyelamatkan hadits-hadits Rasul ini. Pada akhirnya, tujuan penyusunan kaidah-kaidah tersebut untuk mengetahui keadaan matan hadits. Bersamaan dengan itu muncullah berbagai macam Ilmu hadits, khususnya yang berkaitan dengan penelitian sanad hadits, antara lain ialah Ilmu Rijal Al-Hadits dan Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil.
Dengan berbagai kaidah dan ilmu hadits itu, ulama’ telah berhasil menghimpun berbagai hadits palsu dalam kitab-kitab khusus, seperti Al-Maudhu’ Al-Kubra, karangan Abu Al-Fari ‘Abd Al-Rahman bin Al-Jauzi (508-597 H) dalam 4 jilid, dsb.
Ø  Hukum meriwayatkan dan menyebarkan Hadis Maudhu’.
Hadits maudhu’ berasal dari dua suku kata bahasa Arab yaitu al-Hadits dan al-Maudhu’. Al-Hadith dari segi bahasa mempunyai beberapa pengertian seperti baru (al-jadid) dan cerita (al-khabar). Kata al-Maudhu’, dari sudut bahasa berasal dari kata wadha’a –yadha’u – wadh’an wa maudhu’an – yang memiliki beberapa arti antara lain telah menggugurkan, menghinakan, mengurangkan, melahirkan, merendahkan, membuat, menanggalkan, menurunkan dan lain-lainnya. Arti yang paling tepat disandarkan pada kata al-Maudhu' supaya menghasilkan makna yang dikehendaki yaitu  telah membuat. Oleh karena itu maudhu’ (di atas timbangan isim maf’ul – benda yang dikenai perbuatan) mempunyai arti yang dibuat.
Berdasarkan pengertian al-Hadits dan al-Maudhu’ ini, dapat disimpulkan bahwa definisi Hadits maudhu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW  baik perbuatan, perkataan, taqrir, dan sifat beliau secara dusta. Lebih tepat lagi ulama hadits mendefinisikannya sebagai apa-apa yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau taqrir, tetapi disandarkan kepada beliau secara sengaja. Hadits maudhu’ ini yang paling buruk dan jelek diantara hadits-hadits dhaif lainnya. Ia menjadi bagian tersendiri diantara pembagian hadits oleh para ulama yang terdiri dari: shahih, hasan, dhaif dan maudhu’. Maka maudhu’ menjadi satu bagian tersendiri.
Menamakan hadits maudhu (yang dinegara kita dikenal hadits palsu) dengan sebutan hadits tidak menjadi masalah, dengan sebuah catatan. Diantaranya, ketika menyampaikan hadits tersebut harus diumumkan bahwa ia adalah  hadits palsu. Oleh sebab itu, berdasar istilah yang benar, hadits maudhu’ tidak boleh dikategorikan sebagai hadits walaupun disandarkan kepada hadits dhaif.
Umat Islam telah sepakat (ijmak) bahwa hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’ dengan sengaja adalah haram. Ini terkait dengan perkara-perkara hukum-hukum syarak, cerita-cerita, targhib dan tarhib dan sebagainya. Yang menyelisihi ijmak ini adalah sekumpulan ahli bid’ah, di mana mereka mengharuskan membuat hadits-hadits untuk menggalakkan kebaikan (targhib), menakut-nakuti kepada kejahatan (tarhib) dan mendorong kepada kezuhudan. Mereka berpendapat bahwa  targhib dan tarhib tidak  masuk dalam kategori hukum-hukum syarak.
Pendapat ini jelas salah karena, Rasulullah dengan tegas memberi peringatan kepada orang-orang yang berbohong atas nama beliau seperti sabdanya “Sesungguhnya pembohongan atas namaku tidak seperti pembohongan atas siapapun. Siapa yang berbohong atas namaku, maka dia dengan sengaja menyiapkan tempatnya di dalam neraka”, “Janganlah kamu berbohong atas namaku, karena sesungguhnya orang yang berbohong atasku akan masuk neraka”. Para ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah, sepakat  mengharamkan berbohong dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum dan perkara-perkara yang berkaitan dengan targhib dan tarhib. Semuanya termasuk dalam salah satu dari dosa-dosa besar. Para ulama telah berijmak bahwa haram berbohong atas nama seseorang, apalagi berbohong atas seorang yang diturunkan wahyu kepadanya.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlu Sunnah wal Jamaah berkenaan dengan kedudukan orang yang membuat hadits tersebut, apakah dia menjadi kafir dengan perbuatannya itu dan adakah periwayatannya diterima kembali sekiranya dia bertaubat.  Jumhur Ahlu Sunnah berpendapat bahwa orang yang membuat hadits-hadits maudhu’ tidak menjadi kafir dengan pembohongannya itu, kecuali ia menganggap perbuatannya itu halal.
Tetapi menurut Abu Muhammad al-Juwaini, ayah Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali (W.478H), salah seorang mazhab Syafi’i, orang tersebut menjadi kafir dengan melakukan pembohongan tersebut secara sengaja dan boleh dijatuhi hukuman mati. Pendapat ini dianggap lemah oleh Imam al-Haramain sendiri. Seseorang yang berdusta atas Nabi walaupun hanya satu hadits saja, ia telah menjadi fasik dan riwayat-riwayatnya yang lainnya juga ditolak dan tidak boleh dijadikan hujah. Namun jika ia bertaubat dan taubatnya sungguh-sungguh, sebagian ulama seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Humaidi (W.219H) (guru Imam Bukhari dan sahabat Imam Syafie), Abu Bakar al-Sairafi (W.330H) (salah seorang fuqaha` mazhab Syafie), ashabul wujuh dalam mazhab Syafie dan fuqaha’ mutaqaddimin dalam usul dan furu’ mengatakan bahwa taubatnya tidak memberi pengaruh  dan riwayatnya tidak boleh diterima selama. Bahkan kesalahannya itu dijadikan catatan atasnya untuk setrusnya.
Namun menurut Imam Nawawi (W.677H) pendapat golongan ulama ini lemah karena berlawanan dengan kaidah syarak. Menurutnya, sah taubatnya secara pasti dan riwayatnya boleh diterima setelah dia bertaubat sesuai dengan syarat-syarat taubat yang benar. Pendapat Imam Nawawi ini berdasar pada ijmak ulama yang mengatakan bahwa sah riwayat orang-orang yang kafir setelah memeluk Islam dan kebanyakan sahabat dulunya juga kafir, kemudian mereka memeluk Islam dan persaksian mereka  diterima dan tidak ada perbedaan di antara persaksian dan periwayatan.
Namun yang pasti para ulama berijmak bahwa haram membuat hadits-hadits maudhu’, yang berarti juga haram meriwayatkan atau menyebarkan hadits-hadits maudhu’ padahal ia mengetahui dengan yakin atau zann kedudukan hadits tersebut adalah maudhu’. Barangsiapa yang tetap meriwayatkan dan menyebarkan hadits-hadits maudhu’ dalam keadaan mengetahui dengan yakin atau zann kedudukan hadits tersebut dan tidak menerangkan kedudukannya, ia termasuk pendusta atas nama Rasulullah. Ini dijelaskan dalam sebuah hadits sahih yang berbunyi: “Barangsiapa yang menceritakan satu hadits dariku dan dia mengira bahwa hadits itu adalah dusta, maka dia termasuk di dalam salah seorang pendusta”. Oleh sebab itu, ulama mengatakan sudah seharsunya bagi seseorang yang hendak meriwayatkan sesuatu hadits agar memastikan kedudukan hadits tersebut.
Tapi jika meriwayatkan hadits-hadits maudhu’  dan menyebutkan kedudukan hadits tersebut sebagai maudhu’,  tidak ada masalah. Sebab dengan menerangkan kedudukan hadits tersebut membuat orang bisa bisa membedakan antara hadits yang sahih dengan yang maudhu’ dan sekaligus dapat menjaga Sunnah dari perkara-perkara yang tidak benar. Dari keterangan di atas bisa kita ambil kesimpulan bahwa hadits maudhu’ merupakan sebuah ancaman besar bagi umat Islam. Hukuman para ulama yang ditujukan kepada pembuat hadits dan penyebarnya, cukup memberi gambaran kepada kita bahwa hal itu merupakan suatu perkara yang harus mendapat  perhatian serius.
Untuk menghindari terjerumusnya pada perkara yang tidak ringan itu, kaum muslimin hendaknya serius mendeteksi hadits-hadits palsu. Sebab hadits tersebut terus sudah banyak beredar  di kalangan umat Islam khususnya di tanah air. Jika tidak, akan banyak umat Islam yang terpedaya oleh janji-janji kosong yang disebarkan oleh golongan yang tidak bertanggungjawab.
Ø   Contoh Hadis Maudhu’
Hadits Maudhu yang tersebar dikalangan umat Islam sangat banyak sekali. Hadits-hadits tersebut juga mengenai pembahasan-pembahasan yang berbeda. Orang-orang zindiq saja mereka sangat banyak memalsukan hadits. Diriwayatkan dari Hammad bin Zaid bahwa beliau berkata : “Orang-orang zindiq memalsukan hadits atas nama Rasulullah sebanyak 14.000 hadits”
Berikut adalah enam contoh hadits maudhu yang diambil dari penjelasan Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah :
1. Hadits :
من صام صبيحة يوم الفطر فكأنما صام الدهر كله
“Barangsiapa berpuasa di waktu pagi pada hari ‘Idul Fithri, dia bagaikan puasa sepanjang waktu”
Ini adalah hadits palsu yang dibuat oleh Ibnu al-Bailami. Ibnu Hibban rahimahullah berkata : “Dia meriwayatkan hadits dari ayahnya sebanyak kurang lebih 200 hadits, semuanya palsu dan tidak boleh berhujjah dengan dia dan juga tidak boleh disebut namanya kecuali hanya untuk menjelaskan keheranan terhadapnya ”
2. Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah :
رجب شهر الله وشعبان شهري و رمضان شهر أمتي
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan bulan umatku”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Jahdzom, dia adalah seorang pemalsu hadits.
3. Hadits :
من صام يوما من رجب و صلى أربع ركعات يقرأ في أول ركعة مائة مرة (أية الكرسي) وفي الثانية مائة مرة (قل هو الله أحد) لم يمت حتى يرى مقعده من الجنة
“Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab dan melakukan sholat empat rakaat, pada rakaat pertama ia membaca ayat kursi 100 kali dan pada rakaat kedua dia membaca “Qul Huwallahu Ahad”, dia tidak akan mati sebelum melihat tempatnya di surga”
Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnu al-Jauzi (2/132)
4. Hadits :
من صام يوم عاشوراء كتب الله له عبادة ستين سنة
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari ‘Asyura, Allah akan menulis baginya ibadah selama enampuluh tahun”
Hadits ini palsu diriwayatkan oleh Hubaib bin Abi Hubaib, dia termasuk orang yang memalsukan hadits.
5. Hadits bahwa Rasulullah :
أمر الأغنياء باتخاذ الغنم و أمر الفقراء باتخاذ الدجاج
“Beliau memerintahkan para orang kaya untuk memelihara kambing dan memerintahkan para orang miskin untuk memelihara ayam”
Hadits ini palsu yang diriwayatkan oleh Ali bin Urwah ad-Dimasyqi. Ibnu Hibban berkata tentangnya : “Dia pernah memalsukan hadits”
6. Hadits :
لكل شيء معدن و ومعدن التقوى قلوب العاقلين
“Setiap sesuatu punya sumber dan sumbernya ketaqwaan adalah hatinya orang-orang yang pintar berakal”
Ibnu al-Qoyyim juga menjelaskan bahwa hadits-hadits yang membahas tentang akal semuanya adalah dusta.
(Abu Maryam Abdusshomad, dinukil dari kitab Al-Manar al-Munif fii Asshohih wa Addho’if karya Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah)



KESIMPULAN
Hadits Maudhu’ adalah hadits yang bukan bersumber dari Nabi atau dengan kata lain bukan hadits Rasul, tetapi perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan yang kemudian dinisbatkan pada Rasul.
Apapun alasan membuat hadits palsu, merupakan perbuatan tercela dan menyesatkan karena bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw.
Dengan berbagai kaiddah dan ilmu hadits serta telah dibukukannya hadits mengakibatkan ruang gerak para pembuat hadits palsu yang sangat sempit. Hadits-hadits yang berkembang di masyarakat dan termaktub dalam kitab-kitab dapat diteliti dan diketahui kualitasnya.
Demikianlah makalah yang telah kami susun. Kritik dan saran selalu kami harapkan agar dapat kami buat sebagai pijakan dalam makalah-makalah selanjutnya. Semoga makalah inidapat dapat bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita.

DAFTAR PUSTAKA

Mudatsir.2008, Ilmu Hadis. Bandung : Pustaka Setia
Hassan, Qadir.1982, Ilmu Mushtholah Hadis. Bandung : Diponegoro